Chapter 4 - Jebakan Dibalik Topeng

Annisa duduk di kamarnya, menatap dinding kosong dengan pikiran yang berputar cepat. Semua informasi yang ia kumpulkan tentang Siska mulai membentuk pola. Siska tidak hanya sekadar senior kejam—dia adalah manipulator ulung. Tapi Annisa sudah pernah merasakan betapa menghancurkannya seorang Siska. Kali ini, ia akan bermain di level yang berbeda.

Di meja belajarnya, sebuah buku terbuka dengan halaman yang ditandai—The Art of Deception karya Kevin Mitnick. Buku itu bukan hanya bacaan santai baginya; ini adalah panduan bertahan hidup di dunia di mana informasi adalah senjata.

Mitnick menulis, “The human factor is the weakest link in security.” Annisa tahu, kunci untuk menjatuhkan Siska bukan hanya dengan menemukan bukti, tapi juga memanfaatkan kelemahan manusia di sekitarnya.

Jika Siska suka memanipulasi orang, Annisa akan menjadi manipulator yang lebih baik.

--

Pagi itu, saat Annisa berjalan di koridor menuju ruang kelas, ia melihat Reno berdiri di dekat mesin minuman, sendirian. Rambutnya yang sedikit berantakan dibiarkan tertiup angin, dan tatapannya yang kosong menatap lantai, seperti memikirkan sesuatu yang berat.

Annisa merasa jantungnya berdegup lebih cepat. Ia tidak siap bertemu dengannya sekarang.

Namun, sebelum ia sempat berbalik, Reno sudah melihatnya. "Annisa?" suaranya terdengar pelan tapi jelas.

Annisa memaksa tersenyum, mencoba menyembunyikan kecanggungan yang tiba-tiba menyergapnya. "Hai, Reno."

Reno berjalan mendekat, matanya menatap dalam, seakan mencoba membaca pikirannya. "Kamu ke mana aja akhir-akhir ini? Kok kayaknya sibuk banget?"

Annisa menelan ludah. Apa dia tahu?

"Cuma... adaptasi sama kampus," jawabnya, berusaha terdengar santai. "Banyak tugas dan kegiatan, jadi agak ribet."

Reno tidak langsung menjawab. Tatapannya masih tertuju pada wajah Annisa, seolah ada sesuatu yang ingin ia katakan, tapi ia tahan.

"Hati-hati, ya," akhirnya Reno berkata, suaranya sedikit menurun. "Kadang ada orang yang nggak suka lihat orang lain bahagia."

Kata-kata itu menusuk lebih dalam daripada yang Annisa harapkan. Ia tahu siapa yang dimaksud Reno, dan lebih dari itu, ia tahu apa yang dipertaruhkan.

Reno berjalan pergi, meninggalkan Annisa yang masih berdiri di tempat, tubuhnya terasa lebih berat dari sebelumnya.

Ini bukan hanya tentang balas dendam. Ini tentang menyelamatkan Reno.

--

Beberapa hari setelahnya, Annisa memantapkan hati untuk bergerak. Organisasi kemahasiswaan adalah pusat kekuatan Siska, tempat di mana semua rahasianya tersembunyi. Jika ada bukti korupsi, maka tempat itu adalah kuncinya.

Namun, ia tidak bisa masuk begitu saja. Ia tahu tidak akan mudah membobol sistem organisasi kemahasiswaan atau mencari bukti langsung tentang korupsi tanpa meninggalkan jejak. Tapi ia punya sesuatu yang lebih kuat—orang-orang di sekitar Siska.

Annisa membuka laptopnya dan mulai menelusuri media sosial milik Siska dan teman-temannya. Dalam buku Mitnick, salah satu teknik dasar social engineering adalah pretexting—membuat identitas atau alasan palsu yang meyakinkan untuk mendapatkan kepercayaan seseorang.

“Orang akan lebih mudah berbicara jika mereka percaya pada siapa yang mereka ajak bicara,” tulis Mitnick.

Ia menciptakan identitas baru—Putri, mahasiswa baru yang tertarik bergabung dengan organisasi, khususnya di bidang keuangan.

Dengan kemeja formal, blazer sederhana, rambut digerai menutupi sebagian wajah, dan kacamata berbingkai besar, Annisa nyaris tak dikenali. Bahkan gerakan tubuh dan nada bicaranya ia ubah, dari yang biasanya tenang menjadi sedikit ceria dan polos. Seorang gadis yang tampak tidak berbahaya.

Target pertama Annisa adalah Andre, anggota organisasi yang mengelola administrasi keuangan. Dari pengamatannya, Andre merasa frustasi karena sering diremehkan oleh Siska. Insecure, mudah dipengaruhi, dan butuh pengakuan.

--

Annisa melangkah pelan menuju ruang organisasi kemahasiswaan, jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Hari ini adalah bagian dari rencananya—memulai permainan dengan hati-hati. Dia tahu, Siska adalah target yang berbahaya, dan satu langkah yang salah bisa membuatnya kehilangan kesempatan atau lebih buruk, menempatkannya dalam bahaya.

Di dalam ruangan yang cukup luas itu, hanya ada Andre yang duduk sendirian, membungkuk di depan laptop dengan ekspresi serius. Tumpukan kertas dan berkas-berkas laporan memenuhi meja kerjanya. Pemandangan ini membuat Annisa yakin bahwa dia adalah titik masuk yang sempurna.

Andre dikenal sebagai orang yang cerdas, tapi merasa tidak dihargai. Dari pengamatannya, Andre sering menunjukkan keluhan halus di media sosialnya, tentang bagaimana orang lain mendapat kredit atas kerja kerasnya. Annisa tahu, egonya adalah celah yang bisa dimanfaatkan.

Ia menarik napas, memasang senyum ceria, dan mengetuk pelan meja di sebelah Andre.

"Hai, Kak! Andre, ya?" suaranya riang, penuh energi seperti mahasiswa baru yang polos.

Andre mengangkat kepala, sedikit terkejut. "Iya. Eh... ada yang bisa dibantu?" tanyanya, suaranya sedikit datar, jelas tidak terbiasa diajak ngobrol oleh mahasiswa baru.

Annisa duduk di kursi kosong di sebelahnya, menjaga jarak cukup dekat untuk membangun kedekatan, tapi cukup jauh untuk tidak membuat Andre merasa terancam. "Aku Putri, mahasiswa baru. Aku dengar Kakak yang ngurus keuangan organisasi ini. Wah, keren banget! Aku tuh tertarik banget belajar soal manajemen dana. Boleh minta waktu Kakak sebentar?"

Andre mengernyit, tapi wajahnya melunak. "Oh... ya? Wah, jarang ada mahasiswa baru yang tertarik sama bagian keuangan. Biasanya pada maunya ikut acara atau humas."

Annisa tertawa kecil, menciptakan suasana santai. "Iya sih, Kak. Tapi aku orangnya suka yang terstruktur. Lagian, aku pikir, kalau bisa ngerti soal keuangan, kan enak juga buat nanti kerja. Bisa ngatur uang sendiri."

Andre tertawa pelan, tampaknya mulai tertarik. "Iya juga sih. Keuangan itu penting, tapi sayangnya nggak banyak yang sadar."

Annisa mengangguk antusias. "Bener banget, Kak! Aku tuh pengen banget belajar dari yang udah pengalaman. Kakak pasti udah paham banget sama seluk-beluknya, ya?"

Andre tersenyum tipis, puas dengan pujian itu. "Ya... lumayan lah. Soalnya kalau di organisasi ini, yang bener-bener kerja ya kita-kita yang di belakang layar. Yang lain mah cuma numpang nama."

Sempurna. Annisa tahu, dia sudah mulai membuka diri.

"Wah, Kakak keren banget sih. Aku kira bendahara yang ngurus semua. Soalnya Kak Siska keliatannya santai banget."

Ekspresi Andre langsung berubah. Senyum di wajahnya menghilang, digantikan dengan dengusan pelan.

"Siska? Dia?" Andre menggeleng dengan nada sinis. "Dia cuma datang pas rapat doang. Kerjaan beneran ya gue sama anak-anak administrasi."

Annisa pura-pura terkejut, tapi hatinya bersorak. "Serius, Kak? Aku kira dia yang paling sibuk. Soalnya kan dia bendahara, gitu."

Andre tertawa hambar, lalu menurunkan suaranya, membuat suasana terasa lebih rahasia. "Kalo aku boleh jujur ya, ada banyak yang nggak beres di sini. Tapi ya... siapa yang berani ngomong? Dia deket sama dosen, sama pejabat kampus. Gue sih cuma kerja aja."

Annisa memiringkan kepalanya, pura-pura bingung. "Nggak beres gimana, Kak? Maksudnya?"

Andre ragu sejenak, matanya melirik ke pintu, memastikan tidak ada orang lain yang mendengar. Lalu dia berbisik, "Dana buat acara tuh sering nggak sesuai sama pengeluarannya. Misalnya, dana konsumsi dicatat dua kali lipat dari yang kita beli. Tapi semua bukti fisiknya dia yang pegang. Kita nggak bisa ngapa-ngapain."

Annisa mengerutkan alis, berpura-pura khawatir. "Serem juga ya, Kak. Kalau sampai ketahuan, gimana dong?"

Andre mengangkat bahu, tapi wajahnya menunjukkan kekecewaan yang mendalam. "Ya udah. Nggak ada yang berani ngomong. Gue juga mikir, ngapain cari masalah."

Annisa tahu ini saatnya untuk mengaitkan Andre lebih dalam. Ia tersenyum simpul, seolah menemukan teman seperjuangan. "Kak, makasih banget udah cerita. Aku jadi makin tertarik belajar lebih dalam soal keuangan. Kakak ada file atau catatan yang bisa aku pelajari nggak? Aku pengen tahu lebih banyak, biar nanti kalau ada apa-apa aku bisa bantu juga."

Andre, yang sudah merasa dihargai dan dipahami, akhirnya menunjukkan beberapa berkas digital di laptopnya. "Nih, coba lihat. Tapi hati-hati aja, jangan cerita ke siapa-siapa."

Annisa mengangguk, berpura-pura antusias, tapi di dalam hatinya, dia tahu ini baru permulaan.

Di antara file yang Andre tunjukkan, ia menemukan jadwal rapat keuangan mingguan yang akan diadakan dua hari lagi. Rapat di mana Siska harus membawa semua bukti fisik pengeluaran dana.

Itulah saatnya.

--

Langkah kaki Annisa bergema di lorong sempit menuju ruang organisasi. Seragam petugas kebersihan magang yang dipinjamnya dari saudaranya yang bekerja di koperasi kampus membuatnya terasa merasa canggung, tapi itu adalah bagian dari rencananya. Jantungnya berdegup kencang, bukan hanya karena risiko yang dihadapinya, tapi juga karena kesadaran bahwa satu kesalahan kecil bisa menghancurkan semuanya.

Ruangan itu kosong, hanya dihiasi meja-meja kayu yang tertata rapi dan rak-rak penuh dokumen. Namun, udara di dalamnya terasa tebal dengan ketegangan. Annisa tahu, dia berpacu dengan waktu.

Awalnya, ia mencoba mencari di atas meja—tidak ada apa-apa. Semua hanya berisi dokumen rapat biasa, notulen, dan proposal acara yang tidak relevan.

“Di mana kamu sembunyikan, Siska?” batin Annisa sambil melirik ke sudut-sudut ruangan.

Ia bergerak menuju rak buku, membuka satu per satu map yang tersusun rapi. Kebanyakan hanya berisi laporan kegiatan yang sudah lama, tidak ada tanda-tanda laporan keuangan semester ini.

Annisa mulai merasa frustrasi. Waktunya terbatas. Jika dia tidak menemukan dokumen itu sekarang, semua usahanya mendekati Andre akan sia-sia.

Kemudian, matanya tertuju pada sebuah lemari arsip besi di sudut ruangan. Berbeda dari lemari lainnya yang tampak usang, lemari ini terlihat lebih baru dan terawat. Di bagian atasnya, ada label kecil bertuliskan “Pribadi.”

“Ini pasti milik Siska.”

Annisa mendekat, mencoba menarik gagang lemari itu. Terkunci.

Dia merogoh saku seragamnya, mengambil penjepit rambut kecil yang sudah ia siapkan. Mengingat salah satu teknik yang pernah ia baca di buku Mitnick, Annisa mencoba mengutak-atik kunci lemari dengan hati-hati.

Beberapa kali gagal, hingga akhirnya—

“Klik.”

Kunci lemari terbuka. Annisa menahan napas, perlahan membuka pintu lemari itu. Di dalamnya, ia menemukan map hitam besar dengan tulisan “Laporan Keuangan Organisasi Tahun 2024” di bagian depannya.

“Ketemu.”

--

Annisa membuka map itu dengan cepat, matanya menyapu halaman demi halaman. Inilah yang ia cari. Laporan keuangan dengan detail pengeluaran yang tidak masuk akal—biaya konsumsi yang berlipat ganda, dana transportasi yang fiktif, dan catatan pengeluaran acara yang tidak pernah terjadi.

Tanpa membuang waktu, Annisa mengeluarkan ponselnya dan mulai memotret satu per satu halaman dokumen tersebut. Setiap kali jari-jarinya menekan tombol kamera, jantungnya berdetak semakin cepat.

Namun, ketika ia baru memotret setengah dari dokumen—

Pintu berderit.

Annisa membeku, tubuhnya kaku seperti patung. Napasnya tertahan saat mendengar suara langkah kaki mendekat.

“Siapa di situ?”

Suara itu… Siska.