Chapter 3 - Mengintai Sang Serigala
Annisa masih berdiri di tempatnya, matanya tak lepas dari sosok Reno yang melangkah pergi, menghilang di balik kerumunan mahasiswa. Hatinya masih terasa hangat melihatnya hidup kembali, tetapi kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Siska.
Nama itu kembali merayap di benaknya, seperti bisikan hantu dari masa lalu. Dalam kehidupan sebelumnya, Siska bukan sekadar senior yang iri atau menyebalkan. Dia adalah pemangsa.
Annisa masih ingat bagaimana hidupnya hampir hancur di tangan perempuan itu. Semua bermula dari satu hal—cinta yang tak terbalas.
Siska menginginkan Reno, tetapi Reno memilih Annisa. Itu cukup untuk membakar api kebencian dalam diri Siska. Namun, alih-alih menghadapinya secara langsung, ia memilih jalan yang lebih licik.
Ia membayar seseorang untuk mencari tahu segala detail kehidupan pribadi Annisa, lalu menggunakan informasi itu sebagai senjata. Rahasia keluarganya diumbar, fitnah menyebar. Ibunya hampir kehilangan pekerjaannya karena gosip yang kejam, keluarganya dilanda konflik, dan orang-orang menjauh darinya.
Tapi kali ini, semuanya akan berbeda.
Annisa tidak akan membiarkan sejarah berulang. Jika Siska menggunakan informasi sebagai senjata, maka Annisa akan melakukan hal yang sama—lebih pintar, lebih licik, dan lebih elegan.
Namun, untuk bisa menjatuhkan musuhnya, Annisa harus tahu di mana titik lemahnya.
--
Dalam beberapa hari setelah ospek, Annisa mulai bergerak diam-diam. Ia tak bisa menyerang tanpa rencana. Ia butuh informasi lebih banyak.
Di kantin, ia mengamati dari jauh. Siska selalu dikelilingi oleh sekelompok senior perempuan. Mereka tampak seperti sahabat, tetapi dari sorot mata dan bahasa tubuhnya, Annisa bisa melihat bahwa mereka bukan benar-benar teman.
Mereka adalah pengikut.
Siska selalu berbicara dengan nada yang mendominasi, dan yang lain hanya tertawa atau mengangguk setuju. Tidak ada yang berani membantahnya.
Dari pengamatannya, ia menyadari sesuatu yang menarik—tidak semua orang di kelompok Siska menyukainya. Beberapa dari mereka sering tampak bosan, sementara yang lain sesekali bertukar pandang penuh arti, seakan ingin bergosip tetapi takut tertangkap basah.
Celah.
Itu berarti ada kemungkinan bahwa salah satu dari mereka bisa dimanfaatkan. Tapi siapa?
--
Annisa memutuskan untuk mencoba cara yang lebih langsung.
Siang itu, ia duduk di kantin, menyesap es teh manis sambil menunggu. Tak lama, seorang gadis bertubuh kecil dan berambut ikal duduk tak jauh darinya—Nadya, mahasiswa baru yang juga menjadi korban Siska.
Annisa berpikir sejenak sebelum menghampirinya.
"Hei, boleh aku duduk di sini?" tanyanya ramah.
Nadya tampak terkejut, tetapi akhirnya mengangguk. "Iya, tentu."
Annisa duduk, tersenyum lembut. "Aku dengar kamu juga sempat kena masalah waktu ospek."
Ekspresi Nadya berubah seketika. Matanya sedikit membesar, dan ia melirik ke sekeliling, seolah takut seseorang mendengar.
"Kamu... kamu juga?" bisiknya pelan.
Annisa mengangguk. "Siska."
Nadya tampak gelisah. "Dia menakutkan," katanya pelan. "Waktu pertama kali ospek, aku cuma telat dua menit, tapi dia nyuruh aku lari keliling lapangan lima kali. Habis itu, dia selalu mempermalukan aku di depan orang lain."
Annisa mengamati wajah Nadya dengan saksama. Ketakutan itu nyata.
"Kamu tahu kenapa dia begitu?" pancing Annisa.
Nadya menunduk, menggigit bibirnya. "Aku nggak tahu banyak. Tapi aku dengar dari kakak tingkat lain... Siska sering ngejar cowok-cowok populer di kampus. Dan kalau ada cewek yang lebih menarik perhatian dari dia..."
Ia menelan ludah.
"Cewek itu bakal sengsara."
Annisa menghela napas panjang. Jadi ini bukan hanya tentang dirinya dan Reno. Siska sudah sering melakukan ini.
Namun, informasi ini masih belum cukup. Ia butuh lebih.
--
Malam itu, Annisa berdiri di depan cermin kamarnya, mengenakan pakaian yang jauh dari gayanya sehari-hari.
Kemeja putih rapi, celana hitam polos, dan jaket navy dengan logo Second Media di lengannya. Wajahnya ditutupi masker, dan kacamata berbingkai besar menyembunyikan fitur khasnya. Rambut panjangnya ia sembunyikan dalam topi hitam.
Kini, ia bukan lagi Annisa Candra Widjaja. Ia adalah seorang sales provider internet yang sedang mencari pelanggan baru.
Dengan penyamaran ini, ia bisa menyusup ke lingkungan kos-kosan senior dan mengorek informasi tanpa ada yang curiga.
Langkahnya ringan saat ia mendekati salah satu kamar dengan cahaya lampu temaram. Ia mengetuk pintu.
Tak lama, seorang perempuan berambut sebahu membuka pintu. Vina.
Annisa mengenalnya—salah satu "teman" Siska. Tapi dari pengamatannya, Vina tidak terlalu dekat dengannya.
Vina tampak lelah. Matanya memperhatikan Annisa dengan curiga.
"Permisi, Kak! Saya dari Second Media. Kami sedang menawarkan promo paket internet murah untuk mahasiswa. Gratis biaya pemasangan dan bulan pertama hanya setengah harga! Apa Kakak tertarik?"
Vina mendesah. "Duh, aku nggak butuh sih. Udah ada internet di sini."
Annisa tersenyum ramah. "Oh, baik Kak! Kalau boleh tahu, siapa pemilik kontrakan ini? Barangkali bisa saya tawarkan paket khusus untuk semua penghuni?"
Vina menghela napas. "Coba aja tanya ke Mbak Rina di kamar depan, dia yang biasa ngurusin pembayaran."
Annisa berpura-pura mengangguk, lalu menambahkan dengan nada ringan, "Wah, enak ya kalau ada yang bantu urus pembayaran. Kayak di kampus, biasanya bendahara yang paling sibuk ya, Kak?"
Vina tertawa kecil. "Ya… kalau bendaharanya beneran kerja sih, ya bagus. Tapi kalau kayak Siska..."
Annisa langsung menajamkan pendengarannya. "Maksudnya, Kak?"
Vina tiba-tiba tampak ragu. "Nggak usah tanya aku. Aku males urusan sama dia."
Namun, Annisa bisa melihat sesuatu di mata Vina—ketakutan dan rasa jijik.
Dan itu berarti Siska menyimpan lebih dari sekadar kebencian terhadap perempuan lain.
Siska punya rahasia yang lebih kotor.