Chapter 2 - Bayangan Takdir
Hari pertama ospek di kampus adalah perpaduan antara kegugupan dan rasa lelah bagi Annisa Candra Widjaja. Aula besar dipenuhi oleh mahasiswa baru dengan wajah penuh harapan, namun suasana tegang terasa jelas dari arahan senior-senior yang galak. Annisa, dengan kecantikannya yang alami dan aura tenangnya, menarik perhatian sejak awal. Namun, bukan hanya kekaguman yang ia dapatkan.
Beberapa senior perempuan, terutama Siska, tampak memandangnya dengan tatapan sinis. Bisik-bisik mulai terdengar di antara mereka, penuh dengan sindiran dan kecemburuan yang tak beralasan.
"Eh, lihat tuh. Pasti tipe anak manja yang sok cantik," kata Siska dengan suara yang sengaja dikeraskan agar Annisa mendengarnya.
Annisa tetap diam. Ia tahu, merespons hanya akan memperburuk keadaan. Meski ia memiliki keunggulan berupa memori masa depan, menghadapi ospek dengan tekanan seperti ini tetap menguras tenaga dan kesabaran.
Ketegangan memuncak saat sesi perkenalan dimulai. Annisa diminta berdiri di depan aula dan menyebutkan namanya.
"Nama saya Annisa Candra Widjaja. Saya dari SMA 8 Jakarta, jurusan Manajemen," katanya dengan nada sopan.
"Suara kamu mana? Nggak kedengeran tuh!" bentak Siska dari barisan senior.
Annisa menarik napas panjang, berusaha tetap tenang. Ia mengulang perkenalannya dengan suara lebih lantang. Namun, sebelum ia selesai berbicara, Siska menyela lagi. "Oh, pantes ya. Anak Jakarta. Udah pasti gaya doang gede, isi kosong."
Tawa beberapa senior lain terdengar. Annisa menundukkan kepala, berusaha menekan rasa tidak nyaman yang mulai menyeruak. Ia tahu ini hanya sebagian kecil dari ujian yang harus ia hadapi.
Setelah sesi perkenalan selesai, perlakuan buruk Siska tidak berhenti. Ketika jam makan siang tiba, Siska sengaja memanggil Annisa ke kantin.
"Eh, Annisa, sini deh," panggil Siska dengan senyum yang jelas palsu.
Annisa, meski ragu, menghampiri mereka. Namun bukannya disambut baik, Siska malah mencubit lengannya dengan keras.
"Kamu tahu nggak, di sini nggak ada yang peduli sama tampang kamu. Jadi jangan sok jual mahal, ya!"
Annisa terdiam, rasa perih menyelinap di hatinya. Namun sebelum ia bisa berkata apa-apa, sebuah suara berat dan dingin terdengar dari belakang.
"Siska, kamu nggak bosan cari masalah terus?"
Annisa menoleh, dan waktu seakan berhenti. Reno.
Sosok itu berdiri tegap, mengenakan jaket kampus yang sedikit kebesaran dan celana jeans lusuh. Wajahnya tampan meski terkesan dingin, dan sorot matanya tajam namun tenang. Rambut hitamnya yang sedikit acak-acakan membuatnya terlihat tidak peduli, tetapi Annisa tahu itu hanya permukaan.
Reno adalah masa lalunya. Kekasih yang pernah ia cintai sepenuh hati, hingga maut memisahkan mereka. Dalam hidup sebelumnya, Reno meninggal saat menyelamatkannya dari tebing longsor ketika mereka mendaki Gunung Kerinci bersama. Melihat Reno lagi sekarang, hidup dan sehat, membuat hati Annisa berdebar bahagia sekaligus diliputi ketakutan.
"Reno, ini urusan cewek-cewek. Kamu nggak perlu ikut campur," jawab Siska, berusaha menjaga wibawa.
"Tapi ini kampus, bukan tempat kamu main drama. Jadi berhenti," jawab Reno dingin.
Siska terdiam, wajahnya memerah karena malu. Akhirnya ia hanya mendengus kesal, lalu pergi bersama teman-temannya.
Annisa masih terpaku. Ia tidak bisa berhenti memandang Reno, mencoba menyesuaikan pikirannya dengan kenyataan di depannya. Reno menoleh padanya, alisnya sedikit terangkat.
"Kamu nggak apa-apa?" tanyanya singkat, nada suaranya sama seperti yang Annisa ingat.
Annisa mengangguk kecil, meski pikirannya masih kacau. "Terima kasih," ucapnya, mencoba menjaga suaranya tetap stabil.
Reno hanya mengangguk singkat, lalu berbalik hendak pergi. Namun, sebelum ia melangkah terlalu jauh, Annisa memberanikan diri memanggilnya.
"Reno, ya? Aku Annisa."
Reno menoleh, ekspresinya tetap datar namun tidak bermusuhan. "Aku tahu. Selamat datang di kampus."
Dengan kalimat itu, ia melangkah pergi.
Annisa berdiri mematung, matanya masih mengikuti Reno yang perlahan menghilang di kerumunan. Hatinya bergejolak. Perasaan bahagia karena bisa melihat Reno hidup kembali bercampur dengan rasa takut akan apa yang mungkin terjadi di masa depan.
Ia tahu Reno hanya memiliki waktu tiga bulan sebelum peristiwa tragis yang merenggut nyawanya. Pikiran itu menghantamnya seperti badai, mengingatkan bahwa, meski ia diberi kesempatan kedua, takdir Reno mungkin akan tetap sama.
Namun kali ini, Annisa tidak akan tinggal diam. Ia berjanji pada dirinya sendiri, apa pun yang terjadi, ia akan melindungi Reno. Ia tidak akan membiarkan sejarah kelam itu terulang lagi.